Senin, 06 Desember 2010

Cemburu Terbit di Ufuk Cinta

seringkali, yang paling mencintai kita
tak menjadi yang paling kita cintai



dan mungkin pernah
yang paling kita cintai
membuat hati kita bagai dirajam duri



Pernahkah kita merasakan simalakama ini; bahwa orang yang sangat kita sayangi berdiri di hadapan kita untuk melindungi musuh yang paling kita benci? Mungkin langka-langka. Tapi Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam, lelaki penuh cinta itu, pernah mengalaminya.



Hari itu adalah Fathul Makkah. Di luar pengampunan umum yang beliau berikan dalam pidatonya yang begitu lembut namun gagah di depan Ka’bah, tetap ada daftar nama para perusak keji yang harus dibasmi. Dan dalam daftar itu ada nama ‘Abdullah ibn Abi Sarh.



Lelaki ini mulanya berdiri di barisan terdepan memerangi risalah dan menyakiti Rasulullah. Sampai suatu saat, dia datang ke Madinah untuk masuk Islam. Bahkan dia sempat beberapa waktu menuliskan wahyu yang turun kepada Nabi Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam. Tetapi dia lalu murtad, kembali ke Makkah, dan mengobarkan kembali persengitannya. Lelaki ini, kemurtadannya saja sudah cukup menjadi alasan bagi kehalalan darahnya. Maka ‘Abdullah ibn Abi Sarh masuk daftar teratas yang harus dieksekusi.



Tetapi alangkah kebetulan bahwa ‘Abdullah adalah saudara sesusuan ‘Utsman ibn ‘Affan. Maka bergegas berselipat dia menemui ‘Utsman. Dimohonnya sungguh agar ‘Utsman memintakan perlindungan dan ampunan baginya pada Rasulullah. Maka ‘Utsman yang lembut penuh kasih itu pun menyembunyikannya. Ketika hiruk-pikuk takluknya Makkah sudah berkurang dan keadaan mulai tenang, ‘Utsman menggandeng tangan ‘Abdullah ibn Abi Sarh dan membawanya ke hadapan Rasulullah.



Dari sejak ‘Utsman berbicara hingga jeda waktu yang sangat lama, Rasulullah diam saja. Ekspresi wajah beliau datar, sama sekali tak berubah. Lama sekali. Inilah ‘Utsman di hadapan beliau. Manusia yang malaikat pun malu kepadanya. Pemuda lembut hati yang dua kali beliau nikahkan dengan dua puterinya. Seorang yang gigih menyerahkan harta dan jiwanya untuk membela Islam. Seorang terkasih yang untuknyalah Rasulullah mengulurkan lengannya yang suci dalam Bai’atur Ridhwan demi mendengar orang-orang Quraisy membunuhnya. Dan kini dia berdiri di hadapan beliau. ‘Utsman datang memintakan ampun bagi lelaki keji dan murtad yang memusuhi Allah.



Iman ‘Utsman, ketulusannya membela agama Allah, dan cintanya kepada Sang Nabi tak mungkin dipertanyakan. Tapi ikatan persusuan itu juga membekas dalam di hatinya. Pasti bukan hanya Sang Nabi yang hatinya bergolak, dada ‘Utsman pun tentu bergemuruh. Pantaskah tindakannya? Apakah pengorbanannya untuk Islam selama ini membuatnya dibenarkan meminta sesuatu yang akan melukai hati dan harga diri Rasulullah? Tapi dia telah sampai di sini. Dia telah berjanji. Dan menyerahkan ‘Abdullah untuk dipenggal di tempat ini tentulah menjadikannya pengkhianat sejati dalam sisi yang lain.



Lama sekali Sang Nabi berdiam diri.. Hingga hening menyelimuti majelis itu sekian waktu lagi. ‘Utsman dengan wajah yang penuh harap masih menanti. Tapi senyap makin menghinggap. Karena sunyi telah begitu lama, para shahabat menyangka dalam hati bahwa Nabi telah memaafkan sang terhukum. Tapi mereka juga diam. Tak kuasa berkata, tak berani bertanya. Senyampang Rasulullah memperhatikan para shahabat yang juga ikut terdiam terbawa sepi, maka akhirnya beliau bersabda lirih, ”..Ya..”



Wajah ‘Utsman berseri sejenak. lalu muram. Lalu datar. Segera digandengnya saudara sesusuannya itu pergi menjauh. Begitu ‘Utsman berlalu, Rasulullah bersabda, ”Andainya setadi ada di antara kalian yang maju dan memenggalnya. Sesungguhnya aku telah berdiam lama agar ada di antara kalian yang maju dan memukul tengkuknya..!”



”Aduhai.. Mengapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami ya Rasulallah?!”, gerun seorang Anshar.



”Sesungguhnya seorang Nabi tidaklah berkhianat meski hanya dengan isyarat!”

Subhanallaah..Alangkah cemburunya Sang Nabi. Alangkah bergejolak hatinya melihat yang dilakukan ‘Utsman. Alangkah ingin beliau akan terbunuhnya musuh Allah, si murtad ‘Abdullah ibn Abi Sarh. Tetapi alangkah kukuhnya prinsip yang beliau pegang. Kecemburuan tak diijinkan menjadikan seseorang menjadi pengkhianat. Maka Sang Nabi tak berkhianat. ‘Utsman juga tak berkhianat pada ‘Abdullah yang percaya padanya. ‘Utsman juga tak sekejap pun punya niat mengkhianati kekasih junjungannya. Dari mereka kita belajar, cemburu, bukan untuk cemburu itu sendiri.