Sabtu, 12 November 2011

KAIRO ATAU ALI




Seperti biasa, setiap harinya diawali dengan membasuh dirinya dengan air wudhu. Izza, siswi kelas 3 sebuah Madrasah Aliyah Negeri di kota Bandung ini memang sudah terbiasa bangun 1/3 malam untuk bermesraan bersama Rabbnya lewat sujudnya. Tidak ketinggalan dia selalu menyenandungkan firman-firman Allah hingga sang surya mulai menampakkan dirinya.
Jarak antara kos dengan sekolahnya tidak terlalu jauh, dapat dijangkau dengan hanya berjalan kaki. Senyum manisnya tak luntur sepanjang perjalanan dari kos sampai sekolahnya. Sesampainya di sekolah, baru ada 1, 2 orang temannya. Izza menempati bangkunya sambil mengeluarkan handphone dari dalam tasnya. Sambil menunggu bel masuk, Izza membuka facebook dan meng-update statusnya.
“Bismillaah, semangat belajar akhi wal ukhti”
Tak lama kemudian, ada facebooker yang ingin menjadi temannya, ”Muhammad Al Habsyi, siapa yaa ?”. Tanpa pikir panjang, Izza menerima pertemanan. Ikhwan itu pun mengomentari status Izza.
“Hamazzah ukhti, salam ukhuwah”
Dag. . .dig. . .dug. . . Hati Izza jadi tak karuan, apa maksud ikhwan ini ??
“Astaghfirullaah”, cepat-cepat ia buang pikiran anehnya itu, dan segera membalas komennya,
“Na’am akhi, salam ukhuwah ‘aidhan”
Jam 14.00 bel berbunyi, tandanya jam belajar hari itu di sekolah telah habis. Sepanjang jalan menuju kosnya, ia tak berhenti bertanya-tanya tentang siapa ikhwan FB tadi pagi. Sesampainya di kos, Izza melihat orang baru.
“Assalamu’alaikum”,sapa Izza sambil merekahkan senyum manisnya.
“Wa’alaikumussalam, Izza baru pulang ?”, Tanya sang ibu kos yang berjilbab putih.
“Iya bu. Izza langsung ke kamar ya”
“Sebentar Za, ini ada yang mau kos disini, kenalan dulu”
“Raihanah”, gadis berjilbab biru tua itu menyodorkan tangannya dengan senyum yang merona.
“Zahratullael, panggil aja Izza” jawabnya ramah.
“Kak Izza, panggil aku Anah”
“Ooowh, dek Anah. Kalau ada perlu apa-apa panggil aku aja ya !”
“Iya kak, kenalin ini ibu aku”, sambil menunjuk kearah wanita paruh baya disebelahnya.
“Assalamu’alaikum bu, saya Izza”
“Wa’alaikumussalam, saya ibunya Anah. Dek Izza, titip Anah ya”
“Insya Allah, bu. Kita saling jaga disini”
“Oia, Za. Anah ibu tempatin sekamar sama kamu, gimana ?”, sahut ibu kos.
“Iya bu, gak apa-apa. Alhamdulillah jadi punya teman di kamar gak sendirian”
Tak lama, ibu Anah pun meninggalkan koskosan baru anaknya itu, suasana atara Izza dan Anah pun kian mencair. Izza mengajak Anah melihat kamar barunya. Mereka bercerita panjang lebar, Anah menceritakan penyebab pindahnya ia ke kos-kosan barunya itu.
“Jadi gini kak, semua salah aku. Aku kasih alamat kos-kosanku ke teman laki-laki di FB, akhirnya dia jadi suka main kesana tanpa izin aku sebelumnya. Karena seringnya, ibu kos merasa terganggu, aku jadi jadi dikasih peringatan deh. Yaudah, daripada aku harus berurusan lagi sama laki-laki itu, aku lebih pilih pindah kos aja”
Seketika Izza terdiam, teringat ikhwan teman barunya di FB.
“Yaudah, buat pelajaran aja ya. Besok-besok jangan kasih alamat kosnya lagi, soalnya nanti juga tahu alamat aku”, goda Izza.
“Hehehehe. . .”
“Kak, laper nih. Makan yuk ! tadi aku bawa makanan dari rumah”
“Silahkan dek, aku puasa”
“Astaghfirullaah, maaf kak. Aku gak tahu. Yaudah deh, dimakan nanti aja, disimpan sampai maghrib”
“Gak usah dek, kalo adek laper makan aja. Nanti malah kelaperan lho, baru satu hari kos disini udah jadi busung lapar, hehehe”
“Yee, gak donk kak. Pokoknya buat nanti sama kakak aja”
Suasana mereka pun semakin hangat. Sambil menunggu waktu maghrib, Izza online dengan handphone kesayangannya. Dilihatnnya bertambah jumlah kotak masuk, dan dibuka. Hatinya bingung setelah tahu bahwa pesan itu dari ikhwan yang tadi pagi meng-addnya.
“Assalamu’alaikum. . .
Ukhti, afwan kalau datangnya inbox ini mengganggu ukhti Zahratullael Nur’aini.
Semoga ukhuwah kita bisa sampai ke surga-Nya”
Hatinya penuh tanda tanya dan bergumam, “Yaa Allah, tunjukkan siapa ikhwan ini”. Dia enggan membalas pesan itu, hingga tak lama kemudian didapatinya lagi inboxnya bertambah. Lagi-lagi dari pemilik akun Muhammad Al Habsyi.
“Demi Allah, yaa ukhti. Tak ada maksud buruk dari hati ini. Semoga ukhti termasuk golongan orang yang selalu berhusnudzan”
Tak sampai hati, Izza pun berpikir dua kali. Dengan perasaan campur aduk, ia memikirkan kata-kata untuk balasan pesannya.
“Wa’alaikumussalam warahmah wabarakah yaa akhi,, syukran telah berhusnudzan terhadap ana. Semoga manfaat dunia akhirat yaa akhi, aamiin”
**Tak lama, kumanang adzan pun terdengar.

Saat sujudnya di 1/3 malam, air matanya setia menemani.
“Yaa Rabb, istiqamahkan hamba. . .
Jauhkan hamba ari syaithan-syaithan penggoda iman. . .
Kuatkan hamba dalam memeluk diin-Mu. . .
Yaa Allah, jadikan hamba ini, hamba-Mu yang selalu berhusnudzan. . .
Jikalau memang ikhwan itu pilihan-Mu untuk hamba, indahkan kami, halalkan kami di waktu yang Engkau tuliskan. . .
Tapi jika bukan dia pilihan-Mu, jauhkan kami Yaa Rabb. . .
Jangan biarkan syaithan menertawkan kebodohan kami, aamiin. . .
Mendengar isak tangis Izza, Anah terbangun. Sambil mengikat rambutnya, Anah memperhatikan Izza dengan penasaran. Izza tersadar bahwa Anah sedang memperhatikannya. Sambil mengusap air matanya, Izza tersenyum melihhat Anah yang sedang serius memperhatikannya.
“Kakak gak tidur ?”
“Udah dek, adek bangun sini, ayo shalat tahajjud”
“Ngantuk kak, nanti deh kalau udah gak ngantuk”
“Yee, itu mah keburu dzuhur tau, hehe. . .”
“Ngantuk”, sambil kembali merapatkan selimutnya.
Izza pun melanjutkan kisah mesra bersama Rabbnya.
Ketika sarapan di meja makan kos-kosannya, Anah sedang asyk dengan facebooknya.
“Kak, nama akun FB nya apa ?”
“Search aja Zahratullael Nur’aini, dek. Di add ya !”
“oke boss”
Tiba-tiba Izza teringat dengan ikhwan misterius itu. Langsung diambilnya handphone untuk online. Tapi ternyata jam di HPnya menunjukkan pukul 06.55.
“Astaghfirullaah, udah jam segini”
“Kenapa kak ?”
“Udah jam segini dek, takut telat”
“Yaa Allah kak, baru jam segini, lagian kan sekolahnya juga dekat”
“Iya sih, tapi takut aja. Kaka duluan yah”
“Bareng aja kak, kan aku bawa motor, berangkatnya juga lewat sekolah kakak”
“Oowh gitu, okelah”
Sampai di sekolah ternyata belum seluruh siswa hadir.
“Assalamu’alaikum. Huufft, alhamdulillaah gak telat”. Sapa Izza kepada teman sebangkunya, Fitri.
“Wa’alaikumussalam. Aku juga baru datang kok Za, kamu tuh yang biasanya kepagian”
“Hehehe, di kosku ada adaorang baru, Fit, jadi tadi ngobrol-ngobrol dulu, keasyikan deh”
“Oowh, gitu. Za, kamu tahu gak, ada kejadian kemarin”
“Kalau kejadian aku tewas seketika, aku tahu, Fit. Tapi selain itu aku gak tahu. Hehe”
“Yee, Izza. Beneran tauu !”
“Emang kejadian apa sih, Fit ??”
“Itu lho, kamu tahu kan, ikhwan penjaga warnet As-Salam yang kayak teroris itu ?”
“Hust, ngawur kamu. Itu ikhwan tauu ! emangnya setiap orang yang berjenggot, keningnya hitam, celananya congklang, udah pasti itu teroris ?? istighfar lho Fit !”
“Astaghfirullaah hal ‘adziim. Afwan Za. Abis, gayanya aneh gitu siih”
“Bukan aneh, tapi Islam punya gaya. Justru menurut aku, ikhwan yang seperti itulah yang pantas disebut ikhwan yang kaffah. Mereka tampak cool dengan stylenya. Cahaya mereka terpancar dari kening hitamnya, bekas sujud kepada Kekasih Kekalnya. Jenggotnya menawan sebagai bukti kecintaan terhadap sunnah Rasulnya. Celana congklang mereka menjauhi isbal. Subhanallaah, yang paling penting mereka punya agama yang kuat, iman, kelembutan, dan kasih saying mereka terhadap sesame. Itulah karisma mereka”
“Na’am ukhti, hhmm… kalau udah ngomongin soal syariat, diin, emang anti deh jagonya”
“aamiin, hehehe. Oia Fit, mau cerita apa tadi, jadi kemana-kemana deh”
**Tiba-tiba bel masuk pun berbunyi.
“Nanti istirahat, aku ceritain deh Za”
**Ketika bel istirahat.
Izza dan Fitri biasa menghabiskan waktu istirahat mereka di kantin sekolah kalau sedang tidak ada kepentingan lainnya.
“Za, kamu pasti suka menggodok kejadian ini”
“Apa sih Fit, bikin penasaran deh”
“Langsung ya Za,, jadi gini. Semalam habis shalat Isya, aku ke warnet , ngirim tugas email. Gak lama kemudian datang satu laki-laki dan satu perempuan berjilbab masuk bilik berdua. Aku emang udah curiga sih, masa pintunya langsung ditutup. Gak lama, ikhwan pnjaga warnetnya tu pura-pura lewat-lewat gitu Za. Terus tiba-tiba ikhwannya itu ngedobrak biliknya, Demi Allah aku ngelihat jelas mereka lagi ngapain. Mereka gandengan gitu Za, si laki-laki malah ngerangkul perempuan. Langsung aja ikhwan warnetnya marah-marah gini Za, “Hey, ini warnet BUKAN tempat mesum. Eh mbak, kalau mau mesum, lepas itu jilbab! Demi Allah saya gak terima kalau jilbab sebagai legalitas kaum muslimah malah jadi kedok kebejatan anda! Sekarang keluar. Saya gak mau tempat ini jadi gak berkah Cuma gara-gara kalian”. Si laki-lakinya Cuma diam gitu Za, perempuannya juga langsung pucat. Aku ngelihat jelas banget, soalnya pas seberang bilik aku . terus ikhwannya lanjut gini lagi Za, “Silahkan mas, mbak, panggil temannya kalau gak terima perbuatan saya ini. Demi Allah saya hanya ingin menegakkan Diin Allah. Silahkan keluar!”. Aku langsung merinding gitu Za, pengen banget rasanya bilang, “udah mas, istighfar”, tapi gak sampai hati”. Cerita Fitri dengan penuh ekspresi.
“Subhanallaah, tsumma subhanallaah”, ucap Izza sambil menggelengkan kepala, tercengang.
“Kenapa Za ?”
“Coba deh Fit, jarang kan, ada ikhwan kayak dia, yang mikirin izzah saudaranya. Kebanyakan Cuma mikirin izzahnya sendiri. Subhanallaah, Fit”
“Hhmm, aku tuh pengen bahas tentang akhwat karbitannya itu lho Za, berjilbab kok tingkahnya kayak gitu”
“Iya Fit, na’udzubillaah. Keterlaluan banget ya. Itu sih gak pantas di bilang akhwat, Fit! Tapi bener deh, yang subhanallaah itu ikhwanny. Kalau aku ada disitu, belum tentu seberani dia, bahkan mungkin hanya bisa berhusnudzan yang sama sekali salah. Oia Fit, kamu udah ngirim tugas emailnya ?”
“Hhmm, jangan-jangan-jangan-jangan nih, hehehe. Aku udah Za, semalam. Makanya tahu kejadian itu”
“Huuhh, Fitri rese ih. Jahat pula, ke warnet gak ajak-ajak”
“Afwan yaa jamilah, hehe”
Sore harinya di beranda kos, Izza, Anah dan ibu kos sedang berbincang-bincang.
“Oia Anah, bisa tolong temenin aku ke warnet gak ?”
“Jam berapa, kak? Warnet mana? Jauh gak? Mau ngapain? Sama siapa aja? Hehehe”
“Yaa Allah, pertanyaan kayak kereta gitu dek. Udah, pokoknya nurut aku yah! Insya Allah gak ada mudharatnya kok, hehe”
“Iya gih, Anah biar tahu daerah sini juga”, sahut ibu kos yang super ramah itu.
“Hehe, oke deh. Aku siap-siap dulu ya kak”
“Iya, jamilah. Cepatt”
Anah pun bergegas mandi.
“Mau ke warnet mana Za ?”
“Warnet depan jalan situ bu, pertigaan”
“Oowh, As-Salam. Penjaganya ikhwan lho, religious. Dia aktifis lho, Za. Katanya sih sekarang lagi semester 6 di IKOPIN. Cocok kalo sama kamu, Za. Panggilannya Ali”
“Yee, ibu bisa aja. Saya ke warnet juga Cuma kalau ada tugas”, jawab Izza dengan wajah memerah.
“Bener deh, Za. Ibu dukung kalau kamu mau ta’aruf sama dia”
“Udah ah, bu. Malu nih, hehehe”
“Iiihh, Izza wajahnya merah tuh. Kenapa yaa ?”
“Iiihh, ibu rese ih”. Obrolan mereka begitu hangat.
Kemudian datanglah Anah dengan kaos lorek orange cokelat, rok polos cokelat dan jilbab orangenya.
“Let’s go, kak”
“Ayo, cantik”, sambil berdiri dari beranda dan tak lupa berpamitan dengan ibu kos dan cium tangan. Izza tampak manis sekali dengan kaos biru mudanya yang bertuliskan “KARENA SAYA GENERASI MUSLIM”, rok hitam motif bunga dan jilbab hitamnya yang lebar semakin menambah kesan cantik pada dirinya.
Tiba di warnet, Izza dan Anah memasuki bilik yang berbeda. Izza langsung membuka email Yahoonya dan new tab Facebook. Setelah selesai tugas emailnya, ia memfokuskan diri pada profil Muhammad Al Habsyi. Tak ada suatu keganjalan yang ia temukan. Setelah selesai waktu penggunaan, Izza dan Anah pun bergegas pulang.
“Bilik 2 dan 3 berapa, kak ?”, Tanya Izza pada penjaga warnet berpeci coklat,seperti peci yang di kenakan mujahid Taliban.
“Masing-masing satu setengah jam, jadi Rp. 8000”, jawabnya sambil merunduk tanpa menatap Izza dan Anah.
**Diperjalanan pulang menuju kos.
“Kak, lihat gak. Penjaga warnetnya kok gak sopan gitu ya ?”
“Gak sopan gimana dek ?”
“Ya itu kak, gak ngelihatin kita. Kalau mata kita cuma satu pun dia gak tahu, hehe”
“Hussh, sembarangan kamu dek. Itu bukannya gak sopan, tapi ghadhal bashar! Menjaga pandangan terhadap yang bukan mukhrim”
“Oowh gitu. Tapi ngomong-ngomong, ikhwannya tampan banget ya kak, kayak jelmaan nabi Yusuf. Hehehe”
“Yee, kamu dek. Gak ghadhal bashar ya!”
“Hehehe, beneran lho kak. Besok sering-sering ke warnet ya kak”
“Huhh, kamu dek. Asal gak kasih alamat kos-kosan aja”
“Hehehe”, tawa mereka menghiasi sepanjang jalan.
Hari demi hari dilalui Izza dengan bayang-bayang ikhwan misterius itu. Setiap 1/3 malam pun ia selalu meneteskan air mata khusus untuk sang ikhwan. Tak ada yang tahu sebelumnya tentang perasaan Izza, hingga suatu hari ia tak kuasa membendung rasa penasarannya itu. Ia ceritakan semua kepada Anah. Anah yang telah menganggap Izza seperti kakak kandungnya sendiri juga ikut penasaran siapa ikhwan itu sebenarnya, karena di wall FBnya hanya tertulis status bertema akhwat. Anah pun menjadi teman FB ikhwan misterius itu, dan mencoba menggali informasi tentang kebenaran siapa ikhwan itu. Tak jarang ikhwan itu menanyakan kabar Anah, mengirimkan inbox tauhid dan ilmu-ilmu Islam. Hingga pada hari ulang tahun Anah, Habsyi, biasa Anah menyapanya, mengirimkan do’a kepada Anah lewat pesan dinding.
“Barakallaahu lika yaa ukhti,, gapai nikmat iman dan Islam di sisa usia kita ini, semoga istiqamah di jalan-Nya,, jadikan umur yang kian berkurang ini manfaat bagi orang-orang sekeliling kita”
Tak sengaja, Izza membuka dinding FB Anah, betapa kagetnya Izza melihat pesan dinding dari Mihammad Al Habsyi. Ia tak habis pikir, ikhwan yang dipikirnya mengharapkan dirinya itu ternyata juga menebar harapan pada orang yang telah dianggap adik kandungnya sendiri. Dengan nada bercanda, Izza menanyakan pada Anah.
“Dek, dapat kado special dari orang special gak niiih ?”
“Iya kak. Ini dikirimin brownies dari ibu, dimakan yuk kak”
“Hhmm, ennaakk. Mau mau… tapi selain itu ada ikhwan yang special gak, yang ngedo’ain adek ? hayyoo jujur”
“Yee, kakak. Ada sih, ikhwan, tapi biasa, gak special”
“Siapa dek ?”
“Banyak kak, ukhuwah di FB. Akhi Habsyi juga ngedo’ain lho kak, dia baik juga”
“Oowh, alhamdulillaah. Semoga jadi berkah sendiri”
“aamiin”
Izza menahan perasaan anehnya itu sambil beristighfar dalam hati. Untuk kesekian kalinya, Izza menerima inbox dari sang ikhwan. Dan untuk kesekian kalinya juga Izza membalas inboxnya.
“Assalamu’alaikum, ukhti. Apa kabarnya iman anti hari ini ?”
“Wa’alaikumussalam, Insya Allah masih dalam ridha-Nya. Akhi, berjuta Tanya bersemayam di benakku, tentang siapa antum sebenarnya? Duhai akhifillaah, bolehkah ana tahu tentang siapa antum?”
“Duhai ukhtifillaah, percayakah anti akan kebesaran-Nya. Demi Allah hanya Dia Yang Maha Berkuasa, jikalau memang Dia menuliskan pertemuan kita di kitab-Nya, tak ada yang dapat berkutik dari takdir-Nya. Ukhti, tahukah anti kalau kita pernah bertemu, walau tak sempat ku menatap mata anti, karena takut mengganggu izzah anti, karena takut tak bisa tidur malam itu, karena takut tak dapat berkonsentrasi keesokannya. Ukhti, siapkah anti jika suatu saat kita ditakdirkan untuk halal? Afwan kalau ana lancang seperti ini”
Perasaan Izza semakin tak menentu, ia bingung teramat bingung akan sikap ikhwan itu.
“Wallaahu a’lam akhi,, ana juga masih harus study, belum ada pikiran yang terbersit untuk mencari yang halal buatku. Afwan akhi, ana Cuma bisa pasrah sama Allah”
“Na’am ukhti, afwan. Sugguh, walau ana keluh untuk mengungkapkan perasaan ini. Namun jangan salahkan penantian ini”
“Kalau memang antum pilih ana, tunggu sampai ana datang dan siap mengantarkan antum ke surga-Nya yang kekal. Tapi kini belum saatnya ana memblas cinta antum,, kalau memang takdir-Nya. Nantikan ana di batas waktu”
Obrolan singkat mereka lewat inbox pun tampak serius. Hingga beberapa minggu berlalu, Izza mendapat kejutan luar biasa dari sekolahnya. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah di Al Azhar, Kairo, Mesir. Izza memang terkenal sebagai sosok muslimah yang pintar dan bersahaja di sekolahnya. Ia pernah menjadi juara I se-Jawa Barat lomba Cerdas Cermat Agama dan juara III se-pulau Jawa lomba Murathal Qur’an . Perasaannya campur aduk, bingung, senang, terharu, semua jadi satu di hati kecilnya. Beasiswa itu seperti mimpi yang dia sendiri pun tak mampu untuk membawanya dalam tidurnya. Hamdallah tak henti hentinya diucapkan kehadirat-Nya.
Keesokannya, Izza membuka facebook, lagi-lagi didapatinya inbox dari sang ikhwan.
“Assalamu’alaikum, ukhti. Jikalau ukhti berkenan, ana ingin menghalalkan ukhti”
Izza panas dingin, air matanya tak kuasa dibendungnya. Kamarnya menjadi saksi bisu kebingungannya. Kebetulan Anah sedang pulang, Izza sendiri di kamar. Izza teramat bingung harus bagaimana. Abiinya telah berpulang saat ia berusia 10 tahun. Umminya menyusul sang abii saat Izza duduk di bangku MTs kelas 2. Hidup Izza dibiayai oleh kedua kakaknya yang hidup merantau di Jakarta. Seorang kakak laki-laki Izza bekerja di pondok pesantren ternama di Jakarta. Dan yang perempuan, mengabdi bersama suaminya yang seorang pimpinan suatu tarbiyah Islam di Jakarta. Malam harinya, ia isi dengan shalat istikharah. Ia meminta kepada Sang Khalik agar menunjukkan apakah ke Kairo atau menikah ?? belum ada jawaban dari-Nya di munajat yang pertama, mungkin Dia ingin menjadikan Izza sebagai hamba-Nya yang sabar.
Hingga suatu saat senggangnya, Izza membalas inbox sang ikhwan.
“Wa’alaikumussalam,, afwan, ana harus tahu siapa antum sebelumnya, sebelum memantapkan hati”
“Ana, Ali. Penjaga warnet As-Salam. Ukhti, afwan jidan. Ana gak bermaksud menyembunyikan identitas. Ana Cuma gak mau mengganggu izzah wal iffah anti. Demi Allah ana takut itu”
Darahnya serasa berhenti mengalir. Izza tak dapat berkata-kata, sesekali ia tersenyum. Dalam senyumnya ia beristighfar. Ternyata ia adalah ikhwan dambaannya. Ikhwan yang tak hanya menjaga izzahnya, tetapi juga izzah saudaranya. Ikhwan yang berkening hitam bercahaya, berjenggot menawan, bercelana congklang rapi, subhanallaah…
Sebelum menjawab inbox Ali, Izza membuka wall FB Ali. Betapa kagetnya Izza, melihat begitu banyaknya akhwat yang berkomentar di statusnya. Ali juga sering mengirimkan pesan tauhid untuk akhwat. Itu cukup mematahkan usaha syaithan-syaithan penggoda iman. Komentar-komentar FB yang seakan ada ikatan.
Tak lelah Izza kembali melaksanakan shalat istikharahnya. Kembali meminta petunjuk pada-Nya.
“Yaa Rabb, hamba berserah hanya pada-Mu…
Tunjukkan jalan mana yang harus hamba lalui agar senantiasa mendapat ridha-Mu, Yaa Rabbii…”
Isak tangis Izza leluasa karena sendirian di kamar. Setelah ia panjatkan segala hajat yang mengganjalnya, ia tidur untuk bersiap menerima jawaban-Nya.
Maha Besar Allah dengan segala caranya, Dia memberikan mimpi pada hamba-Nya yang senantiasa memanjatkan hajat pada-Nya. Dalam mimpinya, Izza bertemu dengan almarhum abiinya. Mereka bertemu di sebuah taman yang luar biasa wangi, luas an asri.
“Assalamu’alaikum, anakku”
“Wa’alaikumussalam, abii. . .” Dalam mimpi Izza menghampiri abiinya dan memeluknya.
“Janganlah resah, anakku. Allah punya jalan untuk hamba-Nya yang selalu tunduk pada syariat-Nya”
“Iya bii, Izza bingung. Apa abii punya jawaban untuk Izza ?”
“Izza, abii percaya kamu pasti kuat. Izza emang udah dewasa, tapi apa Izza udah benar-benar siap berumah tangga ?”
“Izza siap, bii. Jadi istri yang selalu menemani jihad sang suami, jadi ibu yang selalu mengajarkan syariat kepada anak-anak kami kelak”
“Tapi apa Izza mau buang kesempatan sekolah di Kairo itu ?”
“Enggak semudah itu, bii. Itu mimpi Izza yang gak pernah Izza buka sebelumnya, sekarang waktunya Izza bangun dan mewujudkan mimpi itu”
“Abii percaya, jodoh udah diatur Allah. Izza gak usah takut, kalau Allah udah menuliskan namanya di kolom jodoh di lauhul mahfudz, Izza gak perlu ragu, Allah selalu menepati janji-Nya”
“Iya bii, tapi. . . .”
“Udah, Za. Waktu abii udah habis. Izza hati-hati di negeri orang ya. Abii percaya Izza kuat. Hamazzah, anakku. Assalamu’alaikum”
“Tunggu bii, Izza kangen abii. . . “ sambil berusaha menggenggam tangan sang abii.
Tiba-tiba Izza terbangun dari tidurnya dengan nafas yang terengah-engah.
“Wa’alaikumussalam”, jawabnya lirih.
Izza lega, hati kecilnya sudah tenang. Jawaban-Nya melalui sang abii lewat mimpinya semalam cukup meyakinkannya akan jalan yang harus ditempuhnya.
Keesokan harinya sepulang sekolah setelah shalat dzuhur, Izza lantas online dengan HPnya. Lagi-lagi ada inbox dari sang ikhwan.
“Ukhti, sungguh perih rasanya mencintai dalam diam. Mungkin ana salah telah jujur akan perasaan ana. Demi Allah ana tak ingin syaithan pun tahu isi hati ana yang sedang terserang virus merah jambu ini, karena ana takut mereka mengubah rasa indah itu menjadi rasa benci. Biarlah hanya Rabbku yang tahu tenteng warna hatiku saat ini. Tapi sekarang ana telah mengatakan warna hati ana pada ukhti, itu semata-mata hanya ingin menjalin yang lebih khair, yang lebih halal, jikalau ukhti berkenan. Tapi jika tidak, ana ikhlas. Berhusnudzan akan takdir-Nya”
Dengan bacaan basmallah lirih, dia beranikan diri untuk membalas inbox itu.
“Yaa akhi, ana hargai niat baik antum, tapi ada hal yang mungkin amat berarti bagi ana, keluarga ana dan madrasati. Yaa, ke Kairo. Itu hal yang gak pernah ana bayangkan sebelumnya. Kini, itu ada di depan mata. Beasiswa ke Al Azhar dari sekolah, gak mungkin ana lepas gitu aja. Ana harap antum ngerti. Kalau Allah telah menggariskan kita, Demi Allah kita pasti bersatu suatu saat nanti. Tapi kalaupun tidak, kita harus ikhlas”
“Subhanallaah, yaa ukhti. Ana mengerti. Semoga amanah yaa, selamat menjalankan tugas!”
“Iya akhi, jazzakalloh. Tapi kalaupun kita tidak ditakdirkan, Insya Allah ukhuwah kita diridhai-Nya”
“AAMIIN”
Beberapa bulan berselang setelah pengumuman kelulusan, tibalah waktu yang akan menjadi sejarah di hidup Izza. Keberangkatannya mengundang isak tangis bahagia semua orang yang mengenal Izza. Kakak Izza yang ikhwan pun rela mengambil cuti beberapa hari dari pesantren tempatnya bekerja untuk khusus mengantar sang adik sampai ke negeri pyramid. Tak lupa Izza mengucap salam perpisahan dengan Anah dan ibu kos, air matapun tak kuasa dibendung.
“kak, jaga diri baik-baik ya”, ucap Anah sambil terisak.
“Iya, jamilah. Kamu juga ya. Sunnah Senin Kamisnya, tahajjud. Semua yang kakak ajarin ke kamu, jangan di buang gitu aja mentang-mentang kakak gak ada. Oke sayang”
Dengan linangan iar mata, Izza memeluk Anah.
Saat perjalanan menuju bandara, Izza sempatkan membuka FBnya.
“Subhanallaah, betapa perhatiannya teman-temanku”, ucapnya dalam hati setelah melihat berpuluh-puluh pesan yang diterimanya. Ada satu nama akun yang dicarinya. Yaa, Muhammad Al Habsyi, alias Ali. Tetapi hanya pesan lama, tidak ada pesan baru bertemakan Kairo darinya. Kecewa benaknya, namun ia sadar kalau itu hanya buaian syaithan. “kenapa harus kecewa?”, pikirnya.
Dalam benaknya, ia berkata,
“Izza, kamu harus ikhlas, ini jalan Allah. Hidup itu gak hanya untuk mendengarkan kemauan perasaan. Apalagi perasaan yang belum halal hukumnya. Ayo Za, buka hidup yang baru. Kairo, I’m coming”
Hari demi hari dilalui Izza dengan teman baru, bahasa baru, makanan baru. Hingga busana barunya pun semakin akrab ditubuhnya, Izza sekarang bercadar. Semakin tak tampak kulit mulusnya, hanya sinar yang terpancar dari mata indahnya yang dapat menjadi identitas dirinya. Hafalan Al Qur’annya pun semakin mantap, sekarang Izza sudah hafal sampai juz 28 beserta tafsirannya. 4 tahun Izza tinggal di negeri orang, tanpa seorang sanak keluarga, rasa rindu kepada almarhum kedua orangtuanya pun kian membuncah. Ia juga rindu kedua kakaknya. Apalagi kakak ikhwannya baru saja menikah setengah tahun belakangan dengan anak seorang syekh pimpinan ponpres tempatnya mengabdi. Tapi ia tidak dapat menyaksikan moment penting kakaknya itu, karena saat itu sedang berlangsung ujian akhir.
4 tahun berlangsung, selama itu pula ia mencoba mengubur dalam-dalam sosok seorang Ali. Tak dapat dipungkiri, Ali lah ikhwan pertama yang menebar virus merah muda ke hati Izza. Tetapi Izza yang sekarang bukan Izza yang dulu lagi, Izza yang sekarang memiliki hijab setebal dan sekokoh baja. Karena ia juga berharap agar mendapatkan ikhwan yang berhijab super pula.
Saat liburan menunggu hasil ujian akhir, keinginannya untuk berjumpa dengan keluarga dan ukhuwahnya tak dapat dibendung. Pulanglah Izza, membawa sejuta cerita. Sesampainya di bandara, ia disambut hangat oleh kedua kakak kandung dan iparnya. Betapa terkejutnya mereka melihat penampilan Izza yang serba terjaga. Mereka semua terbalut dalam suasana suka cita.
Beberapa hari kemudian, Izza sempatkan diri berkunjung ke tempat kos-kosannya dulu bersama kakak iparnya, istri dari kakaknya. Tak ayal, ibu kos pun sempat tak mengenalinya karena hanya matanya yang terlihat. Tetapi setelah diceritakan, ia pun paham dan langsung memeluk Izza. Season lepas rindu pun usai, mereka berganti topik.
“Oia bu, si Anah sekarang dimana ? gimana kabarnya yaa ?”
Spontan ibu kos kaget mendengar pertanyaan itu,
“Hhmm, gimana ya Za, ibu jelasinnya. Bingung ibu juga, mau certain dari mana dulu”
“Maksudnya gimana bu ?”
“Gini Za, panjang ceritanya. Kamu masih inget kan ibunya Anah ?”
“Tolong bu, diceritain, Izza khawatir. Iya, Izza ingat ibunya Anah, kenapa bu ?”
“Begini Za, dulu itu ibunya Anah koma 3 hari di rumah sakit. Dokter udah bilang kalo gak ada harapan. Terus tiba-tiba ibunya pengen lihat Anah nikah sebelum dia dipanggil. Kasihan Anah, Za. Dia jadi disalah-salahin sama saudara-saudaranya. Jadi ya, mau gimana lagi, waktu Anah gak banyak untuk pilih-pilih ikhwan. Akhirnya dia ceritain semua ke Ali, kamu inget kan, penjaga warnet As-Salam itu, terus Anah to the point minta dinikahin. Ali subhanallaah banget, dia mau nikahin Anah besoknya, Za. Terus setelah mereka ijab, ibunya dipanggil Allah”
Hati Izza seperti diiris-iris oleh pisau yang diasah beratus-ratus kali. Pikirannya kosong, tatapannya seperti orang terhipnotis, matanya berkaca-kaca. Entah sedang apa bibir merahnya dibalik cadarnya itu.
“Izza, kamu kenapa ?”, Tanya sang kakak khawatir.
“Izza, istighfar, Za”, ucap ibu kos sambil memegang tangan Izza.
Air mata pun tak kuasa di bendung. Izza menangis dihadapan ibu kos dan kakak iparnya. Izza teringat kata-kata manis Ali dulu. Sekarang seperti boomerang dikepalanya. Tapi segera ia menghapus air matanya.
“Terus, sekarang mereka tinggal dimana, bu ?”, Tanya Izza dengan nada terisak.
“Mereka tinggal di rumah peninggalan orangtua Anah, kalau kamu mau kesana, ibu tahu tempatnya”
“Ayo kesana, bu”
Sepajang perjalanan di dalam Taruna sang kakak, Izza menanyakan semua yang berbelit dihatinya.
“Sekarang mereka udah punya anak, bu ?”
“Belum, Za. Anah lagi hamil”
“Alhamdulillaah”, ucap Izza setengah sadar.
Sesampainya di rumah Anah, tak perlu ketuk pintu, karena rumahnya disulap menjadi warnet, Ali selalu stand by disitu. Setiap orang yang melintas, diketahuinya.
“Assalamu’alaikum”, salam 3 orang berjilbab itu kompak.
“Wa’alaikumussalam, subhanallah bu, masih berkenan mampir nih, alhamdulillaah”, Ali memulainya dengan basa basi.
Datanglah sesosok wanita dengan perut yang agak buncit dan jilbab lebarnya.
“Wa’alaikumussalam. . Yaa Allah, ibu. Ada apa repot-repot kesini ?”, sapa Anah yang sepertinya hampir lupa dengan Izza.
“Ini. . . ??”, sambungnya lagi.
“Lupa ya bu ?”, goda Izza.
“Astaghfirullaah, kak Izza !!”
Seketika beranda rumahnya pun menjadi tempat reuni. Mendengar nama Izza, Ali sedikit kaget. Dan setelah itu menganggapnya hanya angin yang mampir. Anah pun menceritakan kejadian yang sama persis diceritakan ibu kos tadi. Ali seakan lupa akan kata-kata yang pernah diucapkannya dulu. Izza sama sekali tak menolehkan wajah kearah Ali. Hingga pada akhir obrolan, Izza pamit kepada empunya rumah.
Izza tak habis pikir, kejadian yang seperti dongeng. Tapi ya itulah hidup, Allah mengaturnya begitu sempurna.
Beberapa minggu kemudian, Izza kembali lagi ke Kairo untuk menerima hasil ujian akhirnya, yang setelah itu resmilah ia sebagai lulusan Al Azhar Kairo. Hasilnya sangat memuaskan. Itu adalah minggu-minggu terakhirnya di Kairo. Karena setelah selesai semua urusan-urusan pendidikanny di negeri Piramid itu, ia memutuskan untuk kembali ke tanah air dan berkumpul dengan sanak keluarganya.
Sepulangnya Izza di Indonesia, ia dikagetkan dengan berita pulangnya Anah ke hadapan-Nya. Telah tiada wanita cantik yang ia anggap seperti adik kandungnya sendiri. Anah meninggal saat melahirkan anak kembarnya. Izza pun menyempatkan diri berziarah ke makam adiknya yang dulu menemaninya dalam kamar kos-kosan.
Izza juga menengok bayi yang baru keluar dari rahim wanita kesayangannya itu. Dua bayi laki-laki kembar yang belum diberi nama. Cukup serius perbincangan antara Izza dan Ali walau tanpa tatap muka dan ditemani oleh kakak kakak Izza. Akhirnya dengan persetujuan Ali, Izza memberi nama kedua bayi kembar itu Hasan Al Ghifari dan Husain Al Lathif.
Setelah 1 tahun kepergian Anah, Izza selalu dibayangi mimpi-mimpi aneh, bertemunya ia dengan Anah di sebuah taman yang Indah. Anah bersama Ali dan kedua jagoannya, dan Izza hanya duduk seorang diri. Melihat Izza hanya sendiri, Anah pun mengajak Izza untuk bermain bersama kelurga kecilnya. Tapi tiba-tiba Anah hilang entah kemana. Hanya ada suara merdu yang berkata “Kak Izza, aku titip mereka”. Anehnya mimpi itu tidak hanya 1x, tetapi berkali-kali. Izza pun menceritakan mimpi itu kepada kakak kakaknya.
“Cuma mimpi kan, Za”, jawab kakak laki-laki Izza.
“Tapi bisa jadi itu cara Allah, Za. Mungkin kamu emang udah waktunya berumah tangga”, sahut istrinya.
“Bener, aku setuju”, sahut kakak ipar, suami kakak perempuan Izza.
“Wallaahu a’lam, kak”, jawab Izza lembut.
“Tapi kalau misalnya memang benar kamu harus menggatikan Anah dikeluarganya, apa kamu siap, Za ?”, lanjut kakak ipar.
“siap, kak”, jawab Izza mantap.
“Bagaimanapun, almarhumah udah ku anggap kayak adikku sendiri, susah senang kita bersama. Ali, aku tahu dia ikhwan yang begitu menjaga izzahnya”, tambahnya.

Beberapa minggu kemudian, Ali datang bersama kedua jagoannya ke rumah keluarga Izza dengan sepeda motor barunya. Ali langsung ambil sikap siap, dan bicara tegas.
“Begini, kak. Maksud saya kesini untuk meminta Izza menggantikan posisi almarhumah. Jikalau keluarga ukhti Izza berkenan”
“subhanallaah”jawab mereka, serempak.
“Baru aja beberapa hari yang lalu kita ngebahas soal ini, ternyata memang indahnya jalan Allah”, sahut kakak laki-laki sambil menepuk punggung Ali akrab.
“Demi Allah, kalau kita percaya akan kuasa-Nya, semuanya akan baik-baik aja” ucap Iza dalam hati.


Beberapa minggu setelah pertemuan itu, ijab sah pun dilaksanakan. Setelah itu mereka sekeluarga berkunjung ke makam Anah dan memanjatkan do’a. Tak ada pesta mewah dalam pernikahan mereka.
Beberapa bulan usia pernikahan mereka, Izza diterima mengajar di Universitas Islam di Jawa Barat. Kedua jagoannya pun selalu dalam dekapnya. Ali juga memulai profesi barunya sebagai tenaga pengajar di ponpes milik kakak Izza. Mereka selalu menebarkan benih Islam kepada Hasan dan Husain. Subhanallaah !!
Indahnya jika memiliki hati yang selalu ikhlas dan berserah pada Sang Azza WaZalla…